Selasa, 18 Maret 2008

MENUNGGU ADIK SIRAJ DAN MATARI


ISTRIKU SEMPAT NGIKUTI WISUDA


Bulan Maret 2008 usia kandungan istriku mencapai delapan bulan lebih. Ini artinya, kami harus siap-siap dengan kedatangan anggota baru di rumah kami. Perlengakan bayi, yang pernah dipakai Siraj dan Matari dibuka dan diperiksa kembali. Perlengakpan yang pernah dipakai Siraj sudah tidak ada lagi, sedangkan yang pernah dipakai Matari sebagian masih bisa dipakai. Untuk itu, kami harus melengkapinya dengan yang baru: kasur, tas, popok, baju, dll.

Tidak hanya persiapan perlengkapan, kami pun sudah mengancang-ancang persiapan waktu, psikologis, sosial, dan finansial (walau tak banyak). Untuk waktu, istriku yang pada kelahiran anak ke-3 tidak mendapat cuti, cukup diuntungkan dengan jadwal akademisnya. Ia yang PNS –pengajar—saat ini sedang tidak ada jadwal mengajar. Nantinya, ia akan mendapat waktu libur hanya satu bulan. Sementara saya, yang nguli di Jakarta, harus bolak-balik setiap hari. Saya menjadi kuli yang komuter, dari Serang ke Jakarta. Setiap harinya saya habiskan waktu 4-5 jam, bahkan terkadang 6 jam di jalan. Nantinya, pas saat kelahiran, saya tidak tahu apakah saya dapat libur apa tidak.

Secara psikologis kami membayangkan nanti bakalan lebih capek, mudah stress, dan mungkin mudah marah. Untuk itu, kami berusaha untuk lebih sabar. Apalagi Siraj dan Matari sudah tahap mementingkan egonya. Mereka sudah sering berkonflik, untuk merebutkan sesuatu. Sepertinya berlatih sabar dalam menghadapi konflik dan perselisihan antar-anak, berlatih lebih memperhatikan mereka cara yang baik untuk mempersiapkan beban psikologis memunyai anak tiga yang masih kecil-kecil.

Secara sosial, dalam lingkup gang, RT dan kawasan, kami akan berusaha menjelaskan tahapan secara perlahan. Kami mendedikasikan membangun sebuah keluarga yang tidak condong terhadap adat/tradisi tertentu. Kami akan mengambil, mencontoh, dan memberlakukan sesuatu atas pertimbangan baik untuk kami dan masyarakat secara luas. Kami membayangkan, setelah kelahiran nanti akan muncul ‘tuntuntan’ dari masyarakat untuk mengadakan tradisi setempat, yakni cukuran bayi (marhaban). Bagi kami, tradisi ini kurang produktif, bahkan cenderung konsumtif, untuk itu kami sengaja tidak memakainya. Pada kelahiran Siraj dan Matari tidak ada kegiatan cukuran. Tapi, mungkin kami akan mengadakan syukuran kecil –sesuai kapasitas finansial kami saja, tentunya setelah menunaikan kewajiban utama untuk meng-aqiqohkan. Syukuran yang kami gelar adalah mengundang ibu-ibu –yang sudah terbukti solid dalam menyelenggarakan pengajian rutin setiap malam Jum’at-. Bagi saya, kelahiran adalah buah hasil perjuangan seorang ibu –perempuan-, untuk itu yang berhak untuk mengadakan syukuran adalah ibu-ibu.

Kisah keluarga kami merupakan bagian perjuangan seorang perempuan. Istriku yang seorang pengajar tentu harus memiliki kapasitas yang lebih dibandingkan yang diajar, untuk itu pada tahun 2005 ia melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Negeri Jakarta. Saat itu, pekerjaan saya hanya menyelesaikan sebuah proyek riset yang cukup prestisius, namun dengan imbalan yang pas-pasan bagi kehidupan keluarga. Demi menyukupi kebutuhan keluarga, istriku harus mencari tambahan dengan mengajar di beberapa lembaga pendidikan.

Tak lama istriku mengikuti perkuliahan dan sibuk mengajar di berbagai lembaga pendidikan, kami diberi amanah punya anak lagi. Istriku diketahi hamil dua bulan pada Oktober 2005. Rutinitas ke Jakarta sepekan tiga kali ia jalani dengan membawa bayi diperutnya sampai bulan Mei 2006. Dan untuk proses kelahirannya ia terpaksa mengambil cuti dari perkuliahan. Kini bayi diperutnya yang dibawa ketika kuliah di semester-semester awal hamper berusia dua tahun. Kewajiban kami, kalau boleh dibilang beban terberat pada istriku, bertambah pada tahun di tahun 2006. Saat kami mulai memiliki anak dua, saya tidak mendapat penghasilan tetap. Saya hanya mendapat penghasilan kalau ada proyek, menulis atau mengikuti seminar-seminar saja. Sedangkan istriku harus mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga kami, yang terkadang juga keluarga yang lain.

Istriku, untunglah bisa dan terbiasa bersabar, hari-hari kami di lingkungan baru di Kelapagading, KSB, diisi dengan rutinitas istriku berangkat kerja dan aku mengantar dan menjemputnya. Saya lebih banyak di rumah memomong anak dan kadang menulis, yang di bantu seorang petugas yang membersihkan rumah. Kami percaya, dalam urusan rejeki sudah ada tempat dan waktunya, sehingga walau aku hanya bapak rumahtangga saya berusaha tidak gengsi. Untunglah juga para tetangga kami bukanlah orang-orang yang sok usil mengurusi keluarga kami, sampai sejauh ini. Jadi beban psikologis menjadi bapak rumah tangga yang kulakoni tidaklah berat.

Di kala memomong dua anak, sibuk memberi kuliah, dan menyelesaikan studinya kami diberi lagi kepercayaan memunyai anak lagi. Juli 2007 hasil tes kehamilan yang didapat dari seorang dokter mengatakan, dalam perut istriku telah hidup bayi umur beberapa minggu. Kuliah istriku yang ditempuh lebih dari waktu yang ditetapkan dari aturan penerima beasiswa sekarang sudah selesai. Pada tanggal 15 maret 2008 ia mengikuti wisuda. Untuk mengikuti proses yang jamak di setiap universitas di Indonesia ini kami bertiga (saya dan dua anak saya) mendampinginya, walau telat sampai tempat acara karena kami berangkat secara terpisah dengan kendaraan umum. Pulang dari wisuda kami berlima (satu orok ada dalam perut perempuan pemilik gelar M.Pd ini) sangat berbahagia menuju Kota Serang.

Dokter yang kami percayai untuk memeriksa kandungan istriku memprediksikan bayi kemungkinan lahir pada akhir Maret 2008. Dalam penantian adik Siraj dan Matari ini kami diliputi kegembiraan, diantara karena kami berhasil mengikuti wisuda bersama, saya mulai melanjutkan studi, dan tahun ini anak Siraj akan masuk bangku sekolah.

Semoga kebahagian selalu meliputi kami, walau situasi jaman disemwratutkan oleh para penguasa picik.

Tidak ada komentar:


Bersama

Pengunjung ke

Gang Raflesia

Jl. Raflesia, Kawasan Kelapagading Blok S-T, Kota Serang Baru,
Banten, Indonesia 42122