Rabu, 11 Februari 2009

Sebulan tidak bersama




Aku di Lombok, berempat di Serang



Awal tahun 2009, kami berlima yang biasa menjalani kebersamaan harus menghadapi perpisahan selama sebulan. Pagi atau malam hari yang biasanya TV dan atau komputer menjadi rebutan, selama sebulan tidak lagi. Aku di Lombok Utara melakukan penelitian sebuah komunitas, dan istriku serta tiga anakku di Serang.

Pagi hari pertama di Pulau Lombok datang tanpa memberiku salam yang khas. Suara televisi yang tidak kumatikan semalam masih menyala kala aku terbangun. Seperti pagi-pagi biasanya kutemui. Bagai ciptaan yang terprogram, aku pun melaksanakan rutinitas seperti pagi-pagi pada umumnya. Aku sadar benar berada di Mataram setelah melihat kain tenun selimut kasur ciri khas Lombok berwarna biru dan mendengar obrolan orang-orang di luar kamar yang berbahasa Sasak.

Aku sangat menikmati penelitian ini. Pernah suatu ketika Mas Sugeng (teman penelitian) menanyakan, apakah aku tidak bosan atau kangen dengan rumahku. Pertanyaannya ini mengingatkanku akan bagaimana strategi merasionalisasi rasa kangen dan kejenuhan. Dalam hal ini rasa kangen akan rumah memang selalu muncul, apalagi bayangan anak-anak, cahaya pilihan hidupku. Untuk menghadapi rasa kangen dan jenuh, aku mengaturnya dengan tiga hari kerja penuh dan satu hari untuk rileksasi. Rileksasi di desa ini biasa aku jalani dengan nongkrong di warung pada pagi menjelang siang, atau bermain sepak bola pada sore hari, atau bermain kartu remi pada malam hari. Bosan, sejauh ini, belum menghinggapi rasaku. Betapa tidak, hampir setiap saat rumah Mas Sugeng selalu kedatangan tamu, dan tamunya (baik pemuda setempat maupun teman sejawatnya) selalu memiliki cerita yang informatif. Bahkan, dalam membantu proses penelitianku, pada dua minggu pertama ini, seorang tetangga Mas Sugeng membawakan lagu-lagu pop sasak beserta alat pemutarnya.

Tinggal sebulan di Lombok Utara, aku berusaha menjadi bagian dari warga desa. Tiga hari tinggal di Desa Bentek, aku menyaksikan langsung datangnya bencana banjir bandang yang melanda desa yang damai ini. Sabtu pagi, 10 Januari 2009, keluarbiasaan terjadi di desa ini: ruas jalan desa dari kampung Karangkates menuju kampung Selelos, yang melewati dusun Karang Lendang, Todo, dan Bangket terputus di Todo (tepatnya di kampung Genting). Praktis, Dusun Todo, Bangket, dan Selelos terisoler dari transportasi kota. Selain terisoler dari jalur transportasi, listrik dan air PAM pun demikian. Selama dua hari warga kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kejadian luar biasa kedua adalah terkenanya banjir bandang di Dusun Bangket dan Buani. Di Bangket, selatan Dusun Todo, puluhan warga kehilangan rumah tinggal yang terendam oleh pasir, lumpur, dan potongan-potongan kayu. Tidak ada korban jiwa, namun harta benda rumah-rumah yang ada di muka dusun tersebut hanyut dalam derasnya air bah. Di Buani, timur Dusun Todo, tempat tinggal masyarakat Buda, akibat banjir bandang sebanyak lima rumah ikut hanyut. Pagar vihara yang diresmikan tahun 2005 oleh bupati Lombok Barat rubuh. Kejadian luar biasa ini mendapat respons dari media, baik cetak maupun elektronik. Sejumlah TV swasta nasional meliput kejadian ini, pun media cetak. Adanya kejadian ini membuatku harus memiliki alternatif kegiatan, bahkan peran. Aku menargetkan paling tidak tiga hari, jika tidak ada bencana susulan, mengurangi waktu kegiatan penelitian. Kejadian luar biasa ini menjadikanku relawan bencana dan narasumber menjadi korban bencana. Semampuku, aku ikut bergotong-royong dengan warga. Bagiku ini juga kesempatan untuk bersosialisasi. Di ruas jalan yang terputus, aku ikut membuat jembatan di sungai yang muncul akibat banjir pada Sabtu pagi dini hari itu. Warga menyebut sungai yang muncul pada tanggal 10 Januari 2009 sebagai sungai baru. Namun menurut keterangan orang-orang tua di Dusun Todo, sungai baru bukanlah baru. Sungai yang luasnya hampir 10 meter tersebut memang sudah ada pada tahun 1950-an, dan dihambat pada tahun 1960-an.

Selain terlibat dalam menghadapi bencana yang melanda desa ini untuk kesekian kalinya ini, aku juga terlibat dalam kegiatan warga lainnya. Misalnya kegiatan hiburan warga, yakni bermain sepakbola dan bermain kartu di beruga warga desa. Kedua kegiatan ini merupakan bahasa universal, bukankah setiap orang ingin menghibur diri. Dari kegiatan-kegiatan yang rileks ini tak jarang aku mendapatkan data-data yang penting.

Ada yang berubah selama sebulan. Selain rumahku yang berubah warna, ketiga anakku pun mengalami perkembangan yang mengembirakan. Ketiganya terlihat sehat dan segar. Siraj, anak pertama kami, rambutnya sudah mulai terlihat panjang. Ia di sekolah masih menjadi anak baik, yang disukai guru dan teman-temannya. Sering ia dijadikan contoh yang baik untuk teman sekelasnya. Misalnya, saat akan keluar dari kelas untuk pulang. Guru kelasnya selalu membuat kompetisi murid terbaik diantara murid-murid untuk memutuskan siapa yang keluar lebih dahulu. Dan Siraj selalu keluar lebih dahulu dibandingkan temannya yang lain. Selain menjadi anak yang baik di sekolah, ia pun sekarang sudah dapat membaca susunan huruf dengan lancar. Padahal kami tidak pernah dengan khusus mengajarinya, pun (mungkin) di sekolah. Sehingga, majalah Tiko yang dibagikan tiap bulan dari sekolah dalam beberapa hari sudah habis dibaca.

Matari, anak kedua kami yang bulan Mei akan berusia tiga tahun tumbuh dan berkembang dengan sehat. Ia sudah dapat membantu pekerjaan-pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan oleh dua pengasuhnya. Tentunya hasil kerjaannya jauh dari sempurna, karena hanya main-main. Ia bisa menyapu. Ia bisa memasak. Ia bisa menyetrika, dll. Tak jarang, ia menirukan semua aktivitas baik yang dilakukan uminya (seperti membaca, mengetik, menulis: menurutnya ia bekerja seperti umi). Dalam sosialisasi dengan teman dan tetangga kami, ia mengalami kemajuan. Saat ditanya, ia menjawab dengan baik, bahkan sampai terjadi pembicaraan. Ia sudah mau bermain di rumah teman-temannya tanpa ditemani: Leksa, Esa, Fathan, dan Surya.

Zonnig, yang masih berusia sembilan bulan terlihat lebih gemuk dan sehat. Hidungnya tidak ada ingus. Pertama melihatku, ia tidak mau. Namun saat disebut si gondrong, ia langsung minta gendong. Seolah ia akan menunjukkan apa yang telah bisa dilakukannya, ia langsung minta turun. Ia minta dititah, membantu berjalan. Kegiatan ini sangat disukainya sekarang-sekarang ini. Tak jarang, kami kadang kewalahan mengikuti kesukaannya itu. Dalam berjalan di depan rumah, ia paling suka melihat selokan, baik di sisi kanan maupun kiri Gang Raflesia. Apalagi saat sebuah pipa pembuangan air limbah rumah tangga ini mengalir. Ia dengan seksama melihat sampai tetes air terakhir.

Sebulan penuh tidak melihat langsung pertumbuhan dan perkembangan anak-anak kami merupakan kerugian besar, namun aku sendiri juga masih perlu tumbuh dan kembang dalam melakoni hidup bersama ini.

baca selanjutnya..

Bersama

Pengunjung ke

Gang Raflesia

Jl. Raflesia, Kawasan Kelapagading Blok S-T, Kota Serang Baru,
Banten, Indonesia 42122