Senin, 21 Juli 2008

Ini harimu, dan esok [semoga] juga harimu

Menjelang hari anak nasional 23 Juli 2008






Pagi ini beberapa aktivitas berjalan biasa di rumah kami. TV sudah nyala, seusai subuh. Anak pertama kami melihatnya, di tengah kesibukan bermain mainan kesukannya, keretaapi. Saat adik perempuannya bangun, ia pindah ke ruang depan beserta mainannya. TV tetap menyala, gantian saya yang melihat berita. Pindahnya dia, seolah mengingatkan pada adiknya, ia tak mau diganggu atau tidak mau bermain bersama. Yang luar biasa di pagi ini dan seminggu terakhir, anak pertama kami harus mandi lebih pagi dan mengenakan pakaian seragam. Hari ini merupakan minggu ke-dua ia masuk sekolah. Walau sudah seminggu, tapi persiapan menuju sekolah adalah luar biasa dalam aktivitas keluarga kami.

Hari-hari yang belum terbiasa buat kami ini yang paling sibuk adalah ibunya. Kesibukan ibunya ini tentu juga membuat seisi rumah lain ikut sibuk. Siti dan Dewi, petugas rumah tangga kami harus datang agak pagi, 15-30 menit. Saya pun harus merelakan mengurangi aktivitas “membaca” dunia luar.

Haru rasanya melihatnya sudah menginjak usia sekolah. Biru putih mendominasi warna seragamnya. Ia nampak terlihat lebih besar, sehat, dan bersih.

Saat anak pertama kami (Siraj) sudah siap akan berangkat, anaku ketiga kami (Zonnig) masih dalam gendonganku. Sedangkan anak kedua kami (Matari), sibuk dengan kegemarannya, mengusili kedua petugas rumah tangga kami. Anak perempuan kami ini memang sedang dalam tahap meniru dan mengikuti aktivitas orang. Ia yang belum mandi saat waktu menunjukkan pukul 07.10 itu tak jarang merebut mainan atau kegiatan orang lain.

Berpamitan sebelum pergi adalah ritual biasa yang kami lakukan. Tatkala berpamitan akan mengantar sekolah, Matari nampak ragu: mau melanjutkan kegiatannya atau mengikuti mengantar. Biasanya ia ikut mengantar, namun karena ada mainan baru (milik kakaknya), ia dihadapkan pada dua pilihan. Bagiku wajar, anak yang kasih sayangnya sedikit terenggut oleh adiknya ini (ia lahir belum genap dua tahun), sering minta perhatian. Tak terkecuali pagi ini, ia dalam kegalauannya minta dua pilihan itu dapat dilakoni berbarengan. Berbagai rayuan kami lantunkan, ia tetap tidak bergeming dan merengek. Sejenak kami diam, ia ikut diam. Ia mutuskan akan mengikuti ke sekolah kakaknya, dengan membawa mainan. Namun, saat akan dinaikkan ke motor, kebimbangannya muncul lagi. Karena belum bisa berargumentasi, ia hanya bisa nangis. Dan, ini sering ia lakukan dalam situasi-situasi tertentu.

Kesabaran dalam mendidik, memomong, dan memfasilitasi ketiga anak kami nampaknya harus kami berikan porsi yang lebih ke depan. Ketiga anakku inilah tempat kami menyandarkan mimpi-mimpi kami yang belum terwujud, dan terlewat.

Dalam situasi seperti itu, saya memutuskan mengantar anak pertama kami sampai ke kelas. Di depan sekolahnya, saya hampir meneteskan air mata, saat anaku masuk menikmati sekolahnya. Saya tak tahu apa yang dia cita-citakan, tapi nampaknya ia sedang menikmati usaha memasang cita-cita. Selamat meraih cita-cita, selamat mencipta mimpi-mimpimu, nak. Kami akan berusaha, dan terus berusaha menjadi teman meraih asamu, semampu kami.

baca selanjutnya..

Selasa, 01 Juli 2008

Memilih muslim moderat saja


Bulan Juni yang baru saja lewat menyisakan pertanyaan buat kami, sebagai warga biasa: mau milih Islam Fundamental (FPI, dkk) atau Islam sekuler(AKKBB[?])? Pemojokan itu berawal dari peritiwa Insiden Monas, 1 Juni 2008 di Jakarta. Peristiwa yang sebetulnya biasa, buat Indonesia kini, semakin ramai karena telah memunculkan korban yang tidak sedikit (sebagian orang terkenal, tokoh). Yang berakibat ditangkapnya tokoh-tokoh yang lain. Kini, awal Juli, buntut Insiden Monas masih jadi bahan pembicaraan (debat, yang tak jarang debat kusir baik di tingkat atas atau masyarakat bawah). Ujung pembicaraan selalu ada pemetaan, ada di kubu mana?

Kalau kami, jika dihadapkan posisi seperti ini, yang terpaksa harus memilih/membela, rasa-rasanya lebih memilih moderat saja. Namun, kalau dipotong peristiwa Insiden Monas an sich, kami akan berpihak pada AKKBB. Karena dapat diperumpamakan seperti ini, dalam pertandingan sepakbola (karena kami memang gemar permainan yang sangat sportif dan fairplay di lapangan hijau ini) jika ada dua pihak yang menimbulkan keributan, maka pihak yang memprovokasi (AKKBB) akan mendapat kartu kuning, dan pihak yang terprovokasi dan melakukan tindak di luar aturan, dikartu merah. Provok-memprovok diambil dari pendapat kapten LUI (Laskar Umat Islam), Munarman. Tetapi cerita tidak sampai di situ saja, ibarat tanggal masih ada tanggal 2-30 Juni, yang terus dijadikan ajang pembelaan atas peristiwa tanggal 1 itu oleh para pihak yang terlibat. Dan, sejak itulah fakta mulai kabur dan dikaburkan, tak jarang muncul fitnah-fitnah.

Sebagai warga biasa, hembusan berita-berita pembenaran itu lama-kelamaan menjadi membosankan. Sampailah kami pada kesimpulan, politik telah mengambil peran dalam kejadian itu. Untuk itulah kami memilih muslim moderat saja, tidak ikut-ikutan berpolitik yang sedang bertarung di situ.

Dalam beragama kami milih bersahabat dengan siapa saja, tidak ada di salah satu polar ekstrim. Pilihan ini memang tidak beresiko dan tidak berbahaya bagi kehidupan kenegaraan (keluarga) kami. Kesan bahwa pilihan kami tidak membawa pembaharuan memang benar adanya. Tapi, bagi kami, tidak ada yang baru bukan suatu masalah besar dalam beragama kami, yang penting dan utama adalah nuansa pembebasan dari segala cengkraman, termasuk dari kepeningan politikus.

Dalam memandang agama lain kami mengambil metodenya (Almarhum) Koentowidjojo, sejarawan asal Yogyakarta, yakni berpikir obyektif tentang agama/keyakinan/aliran tidak memerlukan pertimbangan teologis benar-salah agama lain. Agama/keyakinan/aliran lain tidak memerlukan pembenaran teologis agama kami, untuk menjamin eksistensinya di tengah-tengah mayoritas agama kami. Kami tidak perlu repot-repot tahu tentang kedudukan teologis agama lain itu. Budayawan Cak Nun mengumpamakan, agama/kepercayaan lain adalah ibarat istri tetangga. Baik-buruknya, seksi-tidaknya, cantik-jeleknya, jangan diukur dengan ukuran istri kita. Biarkan ia ada dengan adanya saat itu.

Akhirnya kami kembali pada keseharian kami: menikmati Piala Euro 2008, mencoba bernafas dalam himpitan harga-harga kebutuhan yang semakin mahal, berpuasa dengan keingingan-keinginan kebutuhan sekunder, dan kadang tertawa dengan sesama warga. Namun, kami tetap saja menyimak apa yang terjadi dengan Indonesia, baik skala nasional maupun skala Ke-RT-an.

Saat para penggemar Spanyol bersuka ria; penggemar Jerman dan kontestan piala Eropa sedih dengan kegagalannya, awal Juli ini kita kembali membuktikan keberanian para pemimpin negeri ini dalam penderitaan rakyat yang tak kunjung henti. Para pemimpin yang dipilih mayoritas pemilih ini dengan berani menaikkan harga gas elpiji dan BBM (industri), di tengah perlawanan masyarakat menolak BBM.

Haruskah doa kami lantunkan dengan jeritan, agar doa kami semakin terkabulkan: kami terlepas dari penderitaan.Rasanya tidak, karena di hadapan para Penguasa sebenarnya (Sang Khalik) itulah kami percaya. Rintihan doa dalam kemoderatan kemusliman tetap kami lantunkan dalam teriakan perlawanan terhadap para pemimpin yang semakin menindas.

baca selanjutnya..

Bersama

Pengunjung ke

Gang Raflesia

Jl. Raflesia, Kawasan Kelapagading Blok S-T, Kota Serang Baru,
Banten, Indonesia 42122